ANALISIS YURIDIS ASAS PRADUGA
TAK BERSALAH
DALAM KUHAP
( UU RI No. 8 Tahun 1981 )
Alamat Korespondensi: Jl.
Bangkala 1 No.37 Blok 1 Perumnas Antang. Makassar
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui esensi
Asas Praduga Tak Bersalah terhadap tersangka dalam
pertanggung jawaban Pidana di Indonesia dan perlindungan hukum
terhadap tersangka dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana berdasarkan
Asas Praduga Tidak Bersalah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan Asas Praduga Tak Bersalah dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana di Indonesia dan perlindungan hukum terhadap tersangka dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana berdasarkan Asas Praduga Tida kBersalah.
Penelitian hukum ini adalah penelitian normative ( yuridisnormatif ). Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Penelitian ini, teknik pengumpulan
datanya adalah dengan kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan
bahan-bahan yang berupa buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang ada hubungannya
dengan masalah yang diteliti.
Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa Perilaku
atau perbuatan yang melanggar norma undang-undang akan ditindaki secara hukum,
karena hukum telah memberikan ruang untuk menentukan salah tidaknya seseorang
melalui proses hukum. Dalam konteks terjadinya suatu perbuatan pidana, maka
untuk menentukan salah tidaknya seseorang setiap penegak hukum harus berpedoman
pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Asas praduga tak bersalah pada dasarnya
merupakan manifestasi dari fungsi peradilan pidana (modern) yang melakukan pengambilalihan
kekerasan atau sikap balas dendam suatu institusi yang ditunjuk oleh Negara. Asas
ini menyatakan bahwa, “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut, dan/atau dihadapkan di pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya putusan pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dalam hal ini penyidik harus bertanggung jawab menurut
undang-undang dan ketentuan hukum agar tidak terjadi tindakan sewenang-sewenang
terhadap tersangka. Karena tersangka harus didudukkan dalam posisi yang manusia
yang memiliki hak asasi dan memiliki hak-hak yang tentunya diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Adapun Saran terhadap Kelemahan dan kekurangan
KUHAP merupakan perlakuan tidak berimbang terhadap tersangka yang perlu dibenahi.
Salah satu langkah konkret untuk membenahi KUHAP yakni segera melakukan revisi.
Pembenahan dapat dilakukan dengan penyusunan norma yang memberikan kewenangan bagi
masing-masing pihak yang terlibat dalam proses hukum acara pidana
(tersangka/pejabat yang berwenang) konsisten dan memperhatikan asas-asas hukum
yang membawahinya, serta memberikan penjaminan pada penerapannya.
ABSTRACT
This study aims to determine the essence of Principle of Presumption of Innocence of suspects in criminal accountability in Indonesia
and legal protection of suspects in the Book of the Law of
Criminal Law based on the principle
of Presumption of Innocence.
Research this law is normative
research(normative). The data used
areprimary data and secondary data. This research, data collection techniqueis to literature, namely data collection techniques by collecting materials in the form
ofbooks andother library materials has to do
with the problems examined.
Results from this study stated that the Behavior or acts that violate
the norms of legislation will be acted upon by law, because the law has given
space to determine whether or not any person through the legal process. In the
context of the occurrence of a crime, to determine whether or not one person
every law enforcement should be guided by the provisions of the legislation.
The presumption of innocence is essentially a manifestation of the criminal
justice functions of (modern) conducting take over of violence or revenge attitude an institution designated by the
State. Thus, all the infringement committed by a person should be resolved in
accordance with legal procedures. This principle states that, "every
person suspected, arrested, detained, prosecuted, and / or faced in court,
shall be presumed innocent before the court ruling, stating his guilt and
permanent legal power. In this case the investigator should be held accountable
according to the law and legal provisions to prevent summary or arbitrary
action against the suspect. Because the suspect must be seated in a position of
human beings who have rights and have rights which must be set in legislation.
As for the suggestion of the weakness and the lack
of the Criminal Code is unequal treatment of suspect swhoneed to
be addressed.One of theconcrete steps to fix the immediate revision of
the Criminal Procedure Code.Settling can be done with the
preparation of norms that give sauthority for each party in volvedin the
process of criminal procedure(the suspect /competent
authorities) is consistent and pay attention
to the principles of lawunder whom he, as well asto guarantee the implementation
PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah Negara
Hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Norma ini bermakna
bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi
seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam
kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum, sebagai suatu sistem,
dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen
pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan
hukum.
Ilmu
hukum pidana sebagai salah satu disiplin ilmu hukum yang berperan mengatur
tatanan masyarakat. Bidangnya mencakup kepentingan Negara dalam
menyelenggarakan ketertiban dan keamanan warga negaranya. Hukum pidana banyak
dibutuhkan dalam menghadapi dinamika perilaku antara kepentingan orang dengan
orang lainnya atau kepentingan orang dengan lingkungannya. Kepentingan hukum
telah memberikan hak dan kewajiban kepada setiap orang. Dan tentunya untuk
memperoleh atau mewujudkan haknya, diperlukan rambu-rambu agar tidak
bertentangan satu sama lainnya. Pada konteks tersebutlah hukum pidana hadir
mengatur tata prilaku pribadi seseorang, agar tetap serasi dan seimbang dalam
mewujudkan cita-cita ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Dinamika kehidupan
masyarakat yang menunjukkan adanya perilaku pelanggaran norma-norma atau
kejahatan merupakan gejala kontra produktif dalam masyarakat. Dalam konteks terjadinya suatu perbuatan pidana, maka untuk menentukan
salah tidaknya seseorang, setiap penegak hukum akan berpedoman pada ketentuan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disingkat KUHAP. Asas Praduga
Tak Bersalah merupakan salah satu asas
yang melatarbelakangi dirumuskannya pasal-pasal KUHAP.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum
normatif (yuridis normatif). Penelitian Hukum Normatif adalah metode penelitian
hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.
Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adala 2 (
dua ) yaitu : 1. Bahan Hukum Primer ( Peraturan perundang-undangan,
Yurisprudensi, dan Traktat dan/atau Konvensi yang sudah diratifikasi. 2. Bahan
hukum Sekunder ( buku-buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan penelitian ilmu
hukum, artikel ilmiah hukum dan bahan seminar / lokakarya ).
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan datanya adalah
dengan kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan
bahan-bahan yang berupa buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, menggunakan metode
interpretasi dan analisis yuridis normatif.
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam
suatu penelitian, karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses
dan dimamfaatkan sedemikian rupa sampai didapatkan suatu kesimpulan yang
nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian ( Bahan Hukum sebagai Kajian Normatif
dan Telaah Pustaka ).
HASIL PENELITIAN
A.
Pengaturan Asas Praduga Tak Bersalah dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana ( KUHAP ) di Indonesia
1.
Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah
Asas Hukum Praduga Tak
Bersalah, sejak abad ke-11 dikenal di dalam sistem hukum common law, khususnya
di Inggris, dalam Bill of Rights( James Madison,1648 ). Asas hukum ini
dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik – liberalistik yang berkembang
sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.
Di dalam sistem peradilan
pidana (criminal justice system/cjs) berdasarkan
sistem hukum Common Law (sistem adversarial/ sistem kontest), asas hukum ini
merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung
jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip due processof law.
Prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua
ratus tahun yang lampau, kini telah melembaga di dalam
seluruh bidang kehidupan sosial. Di sektor kesehatan dan ketenagakerjaan, jika
distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya
maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”.
Konsekuensi logis dari asas
praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh
hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya
di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk
tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses
persidangan (the right to remain silent).
Asas praduga tak bersalah “presumption of innocent” mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan atau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
memperoleh putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Asas
Praduga Tak Bersalah merupakan salah satu asas yang terpenting didalam Hukum
Pidana, dimana terdapat dalam penjelasan umum butir 3 huruf c Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 8 Undang-undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970.
Sebelum undang-undang tersebut diatas berlaku asas praduga tak bersalah dimuat
di dalam UUD RIS 1949 pasal 14, UUDS 1950 pasal 14 dan kemudian UU No. 19/1964
(Undang-Undang Pokok Kehakiman) pasal 5.
2.
Tafsir Hukum atas Asas Praduga Tak Bersalah
Asas
Praduga Tak Bersalah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (
KUHAP ) dan Undang-undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ( UU
Kehakiman ).
Dalam
KUHAP, Asas Praduga Tak Bersalah di jelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu :
“ setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sedangkan
dalam UU Kehakiman, asas praduga tak
bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi :
“ setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah
sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah)
sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun
sisi materiel. Karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights”
seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang
berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali
tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU
Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU
Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan
Kehakiman (2004) dan Penjelasan Umum KUHAP, adalah: ”Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya, dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”.
Rumusan kalimat di atas, berbeda maknanya secara
signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 paragraf
2 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik, yang dirumuskan
dengan kalimat singkat: “Everyone charged with criminal
offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”. Terjemahannya ”setiap orang
didakwa dengan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan
bersalah menurut hukum”
Kovenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap
tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak
menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap,
sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian
kesalahan seseorang berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan
dengan bunyi kalimat, ”proven guilty
beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan
bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”;
bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas,
tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci
luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang
meliputi delapan hak, yaitu hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang
didakwakan, hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan
pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasihat hukum; hak untuk diadili tanpa
ditunda-tunda; hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan; hak
untuk didampingi penasihat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu; hak untuk
diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan; hak
untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan; hak untuk tidak memberikan
keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui
perbuatannya.
Sejalan dengan Kovenan tersebut, asas praduga tak
bersalah harus diartikan, selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan
secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka
selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah telah selesai
dipenuhi. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang
didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan
terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak
terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.
Merujuk kepada filosofi dan
substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia tidak
murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”,
dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus
diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain
semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak individu. Dalam
konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi
”aku” dan ”engkau”, harus disublimasi menjadi,
”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan
kesejahteraan sosial bersama atau
kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.
Analisis tersebut di atas
mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran asas
praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law” di dalam bingkai
Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran
tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tersebut, maka sepatutnya asas
”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia,
ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai
karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama,
”Daad-Dader Strafrecht” kepada paradigma baru,
”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.
Tafsir terhadap prinsip
praduga tak bersalah, yang sejalan dengan perubahan paradigma tersebut di atas adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi
hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak
ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan
pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding.
Praduga tersebut selanjutnya
berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana
denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and
impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa
oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang
disampaikan di persidangan dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge)
telah memunculkan keyakinan hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel
maupun imateriel. Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak
bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah,
sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.
Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam KUHAP,
merupakan salah satu upaya untuk melindungi hak-hak tersangka dari tindakan sewenang-wenang
dari aparat hukum. Frans H. Winarta mengemukakan bahwa melemahnya penegakkan hukum di
Indonesia, dikarenakan aparat penegak hukum yang belum menunjukkan sikap
profesional dan tidak memiliki integritas serta moral yang tinggi. Oleh
karenanya dapat disebutkan bahwa budaya hukum yang merupakan salah satu faktor
yang turut mempengaruhi bekerjanya sistem hukum adalah kesadaran hukum dari
para pelaksana fungsi kekuasaan kahakiman.
B.
Kesesuaian Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) Berdasarkan Asas Praduga Tak Bersalah
1.
Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka dalam KUHAP berdasarkan Asas Praduga
Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah (presumption of
innocence) merupakan salah satu asas penting yang terdapat dalam KUHAP
angka I poin 3 huruf c Penjelasan Umum dalam Penjelasan KUHAP. Pentingnya asas
tersebut, sangat menjamin tersangka terhindar dari perbuatan yang
sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dengan mengingat kedudukan tersangka
yang berseberangan kepentingan dengan penegak hukum, sehingga perlu dilindungi
secara patut dari tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Sekalipun negara memberikan kewenangan pada
pejabatnya untuk melakukan pemeriksaan atas suatu perbuatan pidana, bukan
berarti tersangka dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Prinsip praduga
tak bersalah haruslah dipegang teguh dalam menjalankan kewenangan-kewenangan
proses hukum acara pembuktian suatu perbuatan pidana. Apapun bentuknya tidak
akan diperkenankan jika seseorang didudukkan sebagai tersangka dengan
perlakuan-perlakuan yang melanggar hak-hak tersangka. Perlindungan
KUHAP dalam memberikan sejumlah hak kepada tersangka adalah sebagai bentuk
perlakuan berimbang antara tersangka yang berhadapan dengan penyelidik,
penyidik pembantu, penyidik atau penuntut umum.
Adapun
hak-hak tersangka yang bertentangan dengan asas praduga tak bersalah :
1). Pembatasan kewenangan kepada tersangka untuk
melakukan pembelaan,
2). Pejabat berwenang (penyidik dan penuntut umum)
tidak memiliki syarat dan mekanisme yang objektif baik dalam melakukan
penahanan, ataupun mempertimbangkan permintaan penangguhan atau pengalihan
status penahanan (Pasal 21 ayat (1) jo. Pasal 23 ayat (1) KUHAP),
3). Hak tersangka sebatas imperatif, tidak memaksa.
Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP,
memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip
akusatur dalam setiap tingkat pemeriksaan. Aparat penegak hukum menjauhkan diri
dari cara-cara pemeriksaan yang “inkuisitur” atau inquisitorial system
yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat
diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Dalam islam, asas praduga tak bersalah juga dikenal
sebagai prinsip hukum yang perlu ditaati. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat Al Hujarat ayat 12 :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Juga melalui hadis Rasulullah S.A.W. yang bersabda
:
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا
وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا
Artinya : “Berhati-hatilah
kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah
sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari keburukan orang lain,
saling inti-mengintip, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling
membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” (Riwayat
Al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2563 ).
Asas
praduga tak bersalah dalam KUHAP dapat menjadi sesuatu yang paradoks bagi
penyelidik, penyidik pembantu, penyidik atau penuntut umum dalam melakukan
penyidikan, jika tidak dipahami secara komprehensif pemaknaannya. Penyelidik,
penyidik pembantu, penyidik atau penuntut umum menjalankan kewenangannya
mencari orang yang diduga bersalah melakukan tindak pidana, sementara di sisi
lain penyelidik, penyidik pembantu, penyidik atau penuntut umum harus tetap
menghormati asas praduga tak bersalah sebagai prinsip yang dianut KUHAP.
Secara
garis besar dapat dipahami, bahwa perwujudan asas praduga tak bersalah bagi
tersangka dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada tersangka untuk
melakukan pembelaan atas tuduhan terhadap dirinya dan terhindar dari perbuatan
sewenang-wenang. Tersangka bukanlah orang yang bersalah, melainkan orang yang
diduga sementara bersalah. Status tersangka tersebut menjelaskan bahwa
tersangka belum dapat dimintai pertanggung jawabannya atas tindak pidana yang
dituduhkan kepada dirinya. Sekalipun tersangka meningkat statusnya sebagai
terpidana, maka tindakan terhadap dirinya pun telah diatur secara tersendiri
oleh undang-undang. Bentuk penghukuman atas kesalahan tersangka yang terbukti
di persidangan, sudah menjadi tanggung jawab jabatan lain selain dalam proses
penyelidikan ataupun penyidikan.
Berikut
beberapa bentuk manifestasi asas praduga tak bersalah dalam norma hukum KUHAP
yang memberikan perlindungan hukum kepada tersangka melalui hak-haknya.
-
Untuk menduga tersangka tidak bersalah, maka ia
berhak untuk tidak diperlakukan secara sewenang-wenang termasuk melakukan
pemaksaan atas pengakuan. Pasal 52 dan Pasal 117 ayat (1) KUHAP memberikan hak
kepada tersangka untuk memberikan keterangan secara bebas.
-
Untuk menduga tersangka tidak bersalah, maka ia
berhak diberikan kesempatan membela diri dari sangkaan.
-
Guna menghindari proses pidana yang melanggar
hak-hak asasi manusia akibat kesewenang-wenangan, penting kemudian untuk
memberikan kesempatan bagi tersangka untuk membantah setiap sangkaan yang
diarahkan kepadanya. Bentuk bantahan tersebut dapat dilakukan tersangka dengan
mengajukan alat bukti berupa saksi a decharge dan seorang yang memiliki
keahlian, serta alat bukti lainnya (Pasal 65 jo. Pasal 116 ayat (3) dan (4)
KUHAP), sebagai upaya perbandingan dengan alat-alat bukti yang digunakan oleh
pejabat yang berwenang dalam meletakkan sangkaan kepada tersangka.
-
Untuk menduga tersangka tidak bersalah, maka ia
berhak untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP).
-
Untuk menduga tersangka tidak bersalah, maka ia
berhak untuk mendapat perlakuan seimbang.
Hak-hak
tersangka yang terdapat dalam KUHAP adalah sebagai bentuk perlindungan terhadap
tersangka. Khususnya mengenai bantuan hukum yang sangat berperan dalam
menyeimbangkan kedudukan tersangka yang berhadapan dengan pejabat berwenang
(penyelidik, penyidik pembantu, penyidik dan penuntut umum). Melalui bantuan
hukum, tersangka dapat didampingi oleh orang yang memiliki keahlian dalam
proses acara pidana (penasihat hukum/advokat) dan pemeriksaan tersangka dapat
dianggap fair, karena ada yang mendampinginya (melihat dan mengetahui)
selama proses pemeriksaan berlangsung (penyelidikan, penyidikan dan
prapenuntutan).
2.
Perbandingan Penafsiran Hak tersangka dalam KUHAP menurut para ahli
Hak tersangka yang diatur dalam
KUHAP merupakan perwujudan dari penerapan akan asas praduga tak bersalah,
dimana tersangka masih memiliki hak-hak dalam melakukan segala upaya untuk
membela diri. Sebab asas praduga tak bersalah merupakan asas yang dimana
tersangka belum dapat dinyatakan bersalah sebelum ada putusan. Sehingga penulis
coba untuk memaparkan hak-hak tersangka yang di atur dalam KUHAP. Sebagaimana
dijelaskan pada Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”). Berkesesuaian dengan asas praduga tak
bersalah (praesumption of innocence).
Dari asas tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk hak-hak yang disediakan
oleh undang-undang bagi tersangka guna menyiapkan pembelaan atas segala tuduhan
terhadap dirinya.
Lilik Mulyadi menjelaskan hak-hak tersangka/terdakwa yang
diberikan jaminan oleh KUHAP yaitu :
1.
Hak untuk dengan segera mendapatkan pemeriksaan
oleh penyidik, diajukan ke penuntut umum, dan perkaranya dilimpahkan ke
pengadilan untuk diadili (Pasal 50 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP)
2.
Hak agar diberitahukan secara jelas dengan bahasa
yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya dan didakwakan
pada waktu pemeriksaan (Pasal 51 butir (a) dan (b) KUHAP)
3.
Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada
penyidik dan kepada hakim pada waktu tingkat penyidikan dan pengadilan (Pasal
52 KUHAP)
4.
Hak untuk mendapatkan juru bahasa (Pasal 53 ayat
(1) KUHAP)
5.
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum guna
kepentingan pembelaan selama dan waktu dan setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54
KUHAP)
6.
Hak untuk memilih penasihat hukumnya sendiri (Pasal
55 KUHAP) serta dalam hal tidak mampu berhak didampingi penasihat hukum secara
cuma-cuma/prodeo sebagaimana dimaksudkan ketentuan 56 ayat (1) dan (2) KUHAP
7.
Hak tersangka apabila ditahan dapat menghubungi
penasihat hukum setiap saat diperlukan dan hak tersangka/terdakwa warga negara
asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 58
KUHAP)
8.
Hak agar diberitahukan kepada keluarganya atau
orang lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa apabila ditahan untuk
memperoleh bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak berhubungan
dengan keluarga sesuai maksud di atas (Pasal 59 dan Pasal 60 KUHAP)
9.
Hak tersangka atau terdakwa secara langsung atau
dengan perantaraan penasihat hukumnya menerima kunjungan sanak keluarganya guna
kepentingan atau kekeluargaan (Pasal 61 KUHAP)
10.
Hak tersangka atau terdakwa mengirim dan menerima
surat dengan penasihat hukumnya (Pasal 62 KUHAP)
11.
Hak tersangka atau terdakwa menghubungi dan
menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63 KUHAP)
12.
Hak agar terdakwa diadili di sidang pengadilan
secara terbuka untuk umum (Pasal 64 KUHAP)
13.
Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi
dan ahli yang a de charge (Pasal 65
KUHAP)
14.
Hak tersangka atau terdakwa agar tidak dibebani
kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP)
15.
Hak tersangka atau terdakwa mendapatkan ganti
kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68 jo. Pasal 95 ayat (1) jo. Pasal 97 ayat (1)
KUHAP)
16.
Hak terdakwa mengajukan keberatan tentang tidak
berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan (Pasal 156 ayat (1) KUHAP)
17.
Hak terdakwa untuk mengajukan banding, kasasi, dan
melakukan peninjauan kembali (Pasal 67 jo. Pasal 233, Pasal 244, dan Pasal 263
ayat (1) KUHAP).
M.
Yahya Harahap mengemukakan,
hak dan kedudukan tersangka atau terdakwa yang diatur dalam Bab VI KUHAP, dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1.
Hak tersangka atau terdakwa segera mendapat
pemeriksaan
a.
Berhak segera untuk diperiksa oleh penyidik
b. Berhak
segera diajukan ke sidang pengadilan
c.
Berhak segera diadili dan mendapat putusan
pengadilan (speedy trial right)
2.
Hak untuk melakukan pembelaan
a). Berhak
diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang
apa yang disangkakan padanya
b). Hak
pemberitahuan yang demikian dilakukan pada waktu pemeriksaan mulai dilakukan
terhadap tersangka
c). Terdakwa
juga berhak untuk diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang dapat
dimengerti tentang apa yang didakwakan kepadanya
d). Berhak
memberi keterangan dengan bebas dalam segala tingkat pemeriksaan, mulai dari
pemeriksaan tingkat penyidikan dan pemeriksaan sidang pengadilan
e). Berhak
mendapat juru bahasa
f). Berhak
mendapat bantuan hukum
g). Berhak
secara bebas memilih penasihat hukum
h). Dalam
tindak pidana tertentu, hak mendapatkan bantuan hukum berubah sifatnya menjadi
“wajib”
3.
Hak tersangka atau terdakwa yang berada dalam
penahanan
a). Berhak
menghubungi penasihat hukum
b). Berhak
menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan
baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak
c). Tersangka
atau terdakwa berhak untuk diberitahukan penahanannya kepada :
-
Keluarganya
-
Atau kepada orang yang serumah dengannya
-
Atau orang lain yang dibutuhkan bantuannya
-
Terhadap orang yang hendak memberi bantuan hukum
atau jaminan bagi penangguhan penahanannya
d). Selama
tersangka berada dalam penahanan berhak :
-
Menghubungi pihak keluarga, dan
-
Mendapat kunjungan dari pihak keluarga
e). Berhak
secara langsung atau dengan perantara penasihat hukum melakukan hubungan :
-
Menghubungi dan menerima sanak keluarganya
-
Baik hal itu untuk kepentingan perkaranya
-
Atau untuk kepentingan keluarga, dan
-
Maupun untuk kepentingan pekerjaannya
f). Berhak
atas surat menyurat
-
Mengirim dan menerima surat kepada dan dari
penasihat hukumnya
-
Mengirim dan menerima surat kepada dan dari sanak
keluarganya
g). Berhak
atas kebebasan rahasia surat
-
Tidak boleh diperiksa oleh penyidik, penuntut umum,
hakim, atau pejabat rumah tahanan negara
-
Kecuali cukup alasan untuk menduga bahwa surat
menyurat tersebut disalahgunakan
h). Tersangka
atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan
4.
Hak terdakwa di muka persidangan pengadilan
a). Berhak
untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum
b). Berhak
mengusahakan dan mengajukan saksi atau ahli :
-
Yang memberi keterangan kesaksian atau keterangan
keahlian yang menguntungkan bagi terdakwa atau a de charge
-
Apabila terdakwa mengajukan saksi atau ahli yang
akan memberi keterangan yang menguntungkan baginya, persidangan “wajib”
memanggil dan memeriksa saksi atau ahli tersebut
c). Terdakwa
tidak boleh dibebani kewajiban pembuktian dalam pemeriksaan sidang yang
dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah penuntut umum
5.
Hak terdakwa memanfaatkan upaya hukum
Ketidak puasan
atas putusan, memberi kesempatan bagi terdakwa :
a). Berhak
memanfaatkan upaya hukum biasa, berupa permintaan pemeriksaan tingkat banding
kepada Pengadilan Tinggi atau permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung
b). Berhak
memanfaatkan upaya hukum luar biasa, berupa permintaan pemeriksaan “peninjauan
kembali” putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
6.
Berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi
KUHAP memberi
hak kepada tersangka untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi, apabila :
a). Penangkapan,
penahanan, penggeledahan, atau penyitaan dilakukan tanpa alasan yang sah, atau
b). Apabila
putusan pengadilan menyatakan terdakwa bebas karena tindak pidana yang
didakwakan tidak terbukti atau tindak pidana yang didakwakan kepadanya bukan
merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
Andi
Hamzah mengemukakan tersangka atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh
KUHAP mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68. Hak-hak itu meliputi yang
berikut ini:
1. Hak
untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili. (Pasal 50 ayat
(1), (2), dan (3))
2. Hak
untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa
yang disangkakan dan apa yang didakwakan. (Pasal 51 butir a dan b)
3. Hak
untuk memberi keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim seperti tersebut
di muka. (Pasal 52)
4. Hak
untuk mendapat juru bahasa. (Pasal 53 ayat (1))
5. Hak
untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan. (Pasal 54)
6. Hak
untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat
yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa
yang diancam pidana mati dengan biaya cuma-cuma.
7. Hak
tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan
berbicara dengan perwakilan negaranya. (Pasal 57 ayat (2))
8. Hak
untuk menghubungi dokter bagi tersangka atau terdakwa yang ditahan. (Pasal 58)
9. Hak
untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan
tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan
bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksud
yang sama di atas. (Pasal 59 dan 60)
10. Hak
untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan perkara
tersangka atau terdakwa. Untuk kepentingan pekerjaan atau kepentingan
kekeluargaan. (Pasal 61)
11. Hak
tersangka atau terdakwa untuk berhubungan surat-menyurat dengan penasihat
hukumnya. (Pasal 62)
12. Hak
tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
(Pasal 63)
13. Hak
tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge.
(Pasal 65)
14. Hak
tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian. (Pasal 68)
15. Hak
terdakwa (pihak yang diadili) untuk menuntut terhadap hakim yang mengadili
perkaranya. (Pasal 27 ayat (1), Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman).
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM) menunjukan nilai normatifnya Hak Asasi Manusia
sebagai hak yang fundamental. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 “ semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam
martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan harus bertindak
sesama manusia dalam semangat persaudaraan”.
Di Indonesia, pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM “ Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat 1, “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM. Polisi yang menempati posisi sebagai penjaga pintu (as agate of keeper), meminjam istilah Sunarto dalam Muladi, 2005: 142), tentunya juga harus memperhatikan hak-hak tersangka. Universal Declaration of Human Right diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1949). Deklarasi ini memuat 30 Pasal yang memuat berbagai hak asasi. Tersangka seringkali rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, berbagai tindakan sewenang-wenang atau penyalahgunaan kewenangan dari aparat penegak hukum terjadi. Seharusnya aparat penegak hukum memperlakukan semua tahanan sama dengan manusia bebas lainnya hal ini sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945 yang menjamin kesamaan di muka hukum. Hukum dibuat untuk kepentingan manusia, bukan untuk menyengsarakan manusia.
Di Indonesia, pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM “ Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat 1, “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM. Polisi yang menempati posisi sebagai penjaga pintu (as agate of keeper), meminjam istilah Sunarto dalam Muladi, 2005: 142), tentunya juga harus memperhatikan hak-hak tersangka. Universal Declaration of Human Right diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1949). Deklarasi ini memuat 30 Pasal yang memuat berbagai hak asasi. Tersangka seringkali rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, berbagai tindakan sewenang-wenang atau penyalahgunaan kewenangan dari aparat penegak hukum terjadi. Seharusnya aparat penegak hukum memperlakukan semua tahanan sama dengan manusia bebas lainnya hal ini sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945 yang menjamin kesamaan di muka hukum. Hukum dibuat untuk kepentingan manusia, bukan untuk menyengsarakan manusia.
3. Penahanan Dalam Hukum Pidana Indonesia
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu
oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pejabat yang berwenang melakukan penahanan berdasarkan KUHAP yaitu
Penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik (pasal 20 ayat 1 KUHAP), Penuntut Umum ( pasal 20 ayat 2 KUHAP ), dan
Hakim ( pasal 20 ayat 1 KUHAP ). Penahanan
adalah instrument hukum yang kewenangannya diberikan kepada penyidik, penuntut
umum, ataupun hakim. Alasan atau
dasar penahanan seseorang tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa : akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti, dan atau mengulangi perbuatannya. Penahanan hanya dapat dilakukan oleh karena
terdapat alasan-alasan atau syarat yaitu syarat Materiil dan Syarat
Formil. Berdasarkan syarat materiil, alasan objektiflah
yang dapat dilakukan pengujian terhadap penahanan yaitu hanya dengan melihat
tindak pidana apa yang disangkakan kepada tersangka, sedangkan alasan subyektif
hanya berdasarkan rasa kekhawatiran semata yang tentunya dapat menimbulkan
sikap yang diluar hukum.
4. Pertanggung Jawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan
pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang
terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut
melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang
yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Secara leksikal, kata “pertanggungjawaban” berasal dari bentuk dasar kata
majemuk ‘tanggung jawab’ yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu
berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri
atau pihak lain. Selain itu kata tanggung jawab merupakan kata benda abstrak
yang bisa dipahami melalui sikap, tindakan dan perilaku. Setelah bentuk
dasar,kata tanggung jawab mendapat imbuhan awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’
menjadi pertanggungjawaban yang berarti perbuatan bertanggungjawab atau sesuatu
yang dipertanggungjawabkan.
Sengaja
berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia perbuat atau dilakukan. KUHP tidak
menerangkan mengenai arti atau definisi tentang kesengajaan atau dolus intent
opzet.
Dalam Crimineel
Wetboek (Kitab Undang- Undang Hukum Pidana) Tahun 1809 dijelaskan
pengertian,”Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan – perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang – undang”; Dalam
Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman pada waktu mengajukan Crimineel
Wetboek tahun 1881 (kemudian menjadi
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana tahun 1951), dimuat antara lain bahwa
kesengajaan itu adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan
tertentu (de bewuste richting van den wil op een bepaald misdrijf). Kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan
bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang
lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa).
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1. Asas
praduga tak bersalah pada dasarnya merupakan manifestasi dari fungsi peradilan
pidana (modern) dengan demikian, semua pelanggaran hak yang dilakukan oleh
seseorang harus diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kitab
Undang-undangan Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan Asas Praduga Tak Bersalah,
telah memberikan jaminan dan arahan yang
jelas dalam rangka pencapian keadilan proses peradilan pidana yang adil. Jelas diterangkan di dalam Penjelasan Umum KUHAP
butir ke 3 Huruf c dan dalam UU Kehakiman pasal 8 ayat (1).
2. Penegak
hukum (penyelidik, penyidik pembantu, penyidik dan penuntut umum) diberikan
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang mendukung tugasnya menegakkan
hukum, sedang tersangka walaupun diduga telah melakukan tindak pidana akan
mendapatkan hak-haknya agar tidak diperlakukan secara sewenang-wenang dengan
bersandar pada asas praduga tak bersalah. Sebagaimana salah satu elemen Hak
Asasi Manusia, telah di akui dalam Negara Hukum Indonesia,UUD dan beberapa
Peraturan Perundang-undangan.
B.
Saran
KUHAP
sebagai pegangan bagi setiap pihak yang terlibat dalam proses hukum acara
pidana, akan memberikan panduan terhadap setiap tahap yang dilalui. Penegak
hukum (penyelidik, penyidik pembantu, penyidik dan penuntut umum) diberikan
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang mendukung tugasnya menegakkan
hukum, sedang tersangka walaupun diduga telah melakukan tindak pidana akan
mendapatkan hak-haknya agar tidak diperlakukan secara sewenang-wenang dengan
bersandar pada asas praduga tak bersalah. Kelemahan dan kekurangan KUHAP
merupakan perlakuan tidak berimbang terhadap tersangka yang perlu dibenahi.
Salah satu langkah konkret untuk membenahi KUHAP yakni segera melakukan revisi.
Melalui Pembenahan yang dapat dilakukan dengan penyusunan norma yang memberikan
kewenangan bagi masing-masing pihak yang terlibat dalam proses hukum acara
pidana (tersangka/pejabat yang berwenang) konsisten dan memperhatikan asas-asas
hukum yang membawahinya, serta memberikan penjaminan pada penerapannya.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku-buku
atau Jurnal
Achmad Ali.
2002. Menguak Tabir Hukum: Suatu kajian filosofis dan sosiologis. Toko
Gunung Agung.Jakarta
Agus Raharjo,
2002, Membangun Hukum Yang Humanis, Jurnal Pro Justitia FH Unpar,
Bandung.
Al- Quran Dan Terjemahanya, 1982, Departemen Agama
Republik Indonesia Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, Jakarta.
Amiruddin
& H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta.
Andi Hamzah.
2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta
--------------------,
2006, Hukum Acara Pidana Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta.
--------------------,
2008, Hukum Acara Pidana Indonesia edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
--------------------.
2010. Perlindungan Hak-hak Asasi
Manusia Dalam Hukum Acara Pidana; Perbandingan Dengan Beberapa Negara. Universitas
Trisakti. Jakarta
--------------------,
2010, Asas – asas Hukum Pidana edisi revisi 2008, Rineka Cipta, Jakarta.
A.Z. Abidin
dan A. Hamzah. 2010, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta.
Bambang Poernomo,
1988, kapita selekta hukum pidana, liberty, Yogyakarta.
--------------------------,
1998, orientasi hukum acara pidana,
edisi revisi. Amarta Buku, Yogjakarta.
--------------------------.
1993. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum
Pidana. Liberty. Yogyakarta
Barda Nawawi
Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Kejahatan, Prenata Media Group, Jakarta.
Bahan Pokok
Bagi Penyuluh Hukum, 1986, Departemen Kehakiman Direktorat Jenderal
Hukum Dan Perundang-Undangan Direktorat Penyuluhan Hukum, Jakarta.
__________________,
1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Djoko
Prakoso, 1984, Tugas dan Peranan Jaksa
Dalam Pembangunan, Chalia Indonesia, Jakarta.
Eddy
O.S.Hiraiej, 2002, Memahami Asas Praduga Bersalah dan tidak Bersalah, Kompas,
Jakarta.
--------------------,
Beberapa Catatan RUU KUHAP dalam Hubungannya Dengan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Frans H. Winarta, 2003, Pencapaian
Supremasi Hukum yang Beretika dan Bermoral, Pro Justitia, Bandung
Hibnu
Nugroho, 2013, Pembaharuan KUHAP sebagai upaya Penegakan Hukum Di Indonesia,
Seminar Nasional Fakultas Hukum Unsoed Porwokerto.
H Pudi
Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri),
Laksbang Mediatama, Surabaya.
I Gusti Bagus
Sutrisna, 1986, Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tinjauan Terhadap Pasal
44 KUHP), dalam Andi Hamzah (ed),Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana,
Ghalia Indonesia, Jakarta
I. Made
Widnyana, 2010, Asas-asas Hukum Pidana, Fikahati aneska, Jakarta
Jazim Hamidi,
2015, Fiqih HAM “Ortodoksi dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam Islam”,
Setara Press. Malang.
Jimly
Assiddiqie, M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Kamri Ahmad.
2014. Peninjauan Kembali Dalam Teori
Dan Praktik. Makassar:Kretakupa Print.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( K.U.H.A.P ) Dengan
Penjelasannya UU. RI. No. 8 Tahun 1981,
1981, C.V. Toha Putra, Semarang.
KUHP &
KUHAP, 2008, PERMATA PRESS
Kovenan
internasional hak-hak sipil dan politik
LilikMulyadi.
2007. Hukum Acara Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung
Marwan
Efendy, 2005, KEJAKSAAN RI Posisi Dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, PT.
Gramedia Utama, Jakarta.
Marpaung, 1986,
Unsur-Unsur
Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik). Alumni Ahaem-Petahaem, Jakarta
Mashood
A.Baderin, 2010, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta
Mien rukmini,
2007. Perlindungan HAM melalui asas praduga tidak bersalah dan asas persamaan
kedudukan dalam hukum padaperadilan pidana Indonesia.PT.Alumni.Bandung.
Moeljatno,
2009,Asas
–asas Hukum Pidana edisi revisi, Rineka Cipta, Jakarta.
Muhammad
Ihsan Zainuddin, 2012, 200 Hadist Populer untuk hapalan,
Sukses Publishing, Bekasi.
M. Karjadi
& R. Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
dengan Penjelasan dan Komentar Politeia, Bogor.
M. Sofyan
Lubis, 2010.Prinsip Miranda Rule: Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan, Pustaka Yustika. Yogyakarta.
M. Yahya
Harahap, 2006, Pembahasan Permaslahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,
Jakarta.
Ninikwidiyanti
dan Yulius.W.Askita, 1987, Kejahatan Dalam Masyarakat Dan Pemecahannya,
Bina Aksara, Jakarta.
O. C. Kaligis. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak
Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana; Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia. Bandung:
Alumni.
Pedoman
Pelaksanaan KUHAP, 2007, Asa Mandiri, Jakarta.
Purwadarminta.W.J.S,
1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bali Pustaka, Jakarta.
Romli
Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum
Pidana. Mandar Maju. Bandung
------------------------.Senin,14
Desember 2009. Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah:Reaksi Atas Paradigma
Individualistik.(www.HukumOnline.com)
Ruslan
Renggong, 2014. Hukum Acara Pidana “Memahami Perlindungan HAM dalam proses penahanan di
Indonesia” Edisi Revisi, Kencana. Jakarta.
R. Soesilo,
1995, RIB/HIR Dengan Penjelasannya, Politea, Bogor
R. Sugandhi,
1981,KUHP
Dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya.
Sadjijono,
2008, Mengenal Hukuk Kepolisian, Laksbang Mediatama, Surabaya.
________,
2008, Polri Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Laksabang
PRESSindo, Yogyarta.
Satjipto
Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung
--------------------.2007,
Membangun
Polisi Sipil : Perspektif Hukum ; Sosial dan Kemasyarakatan, Kompas
Media Nusantara. Jakarta.
Soejono.D,
1983, Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung.
Soerjono
Soekanto. 1983. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum. RajaGrafindo Persada. Jakarta
--------------------------,
2007, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
---------------------------
dan Sri Mamudji. 2010. Penelitian Hukum Normatif. Rajawali
Pers. Jakarta.
Tina
Asmarawati, 2015, Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum Indonesia, Deepublish,
Yogyakarta
Topo Santoso.
2003. Membumikan Hukum Pidana Islam:
Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda. Gema Insani Press. Jakarta
Wirjono
Prodjodikoro. 2011. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama. Bandung
.
B.
Peraturan Perundang-undangan
a.
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, Hukum
Online
b. Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Hukum Online
c.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
d.
Putusan Pengadilan Negeri Mamuju, Perkara No.
53/Pid.B/2014/PN.Mu.
e.
Putusan Pengadilan Negeri Mamuju, Perkara No.
112/Pid.B/2014/PN.Mu.
f.
Putusan Pengadilan Negeri Mamuju, Perkara No.
120/Pid.B/2014/PN.Mu.
g. Rancangan
Undang-undang Republik Indonesia tentang Hukum Acara Pidana dan penjelasannya.
h. Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
i.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
j.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 revisi menjadi
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
k. Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
l.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang
Pengesahaa Internasional Covenant on Civil and Political Rights ( Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik ), www.Hukum Online.com
m. Undang-Undang R.I No. 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan, 2003, DPR RI, Jakarta.
n. Undang-Undang R.I No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian RI, 2007, Visimedia, Jakarta.
o. UUD’45 Hasil Amandemen Dengan Penjelasannya, Permata
Bangsa.
C.
Internet
1. Adityo
Ariwibowo,2013, Definisi dan Fungsi Teori Hukum ( online ), (adityoariwibow.Wordpress.com/2013/10/26/1105.
Diakses 11 Januari 2016 )
2. Agus
Salis Tidore,2013, Teori-Teori Hukum Menurut Para Ahli ( online ), (salimtidore.blogspot.co.id.
diakses 11 Januari 2016 )
3. Ali.
Pengertian
dan Macam-Macam Norma ( online ) ( pengertianpakar.com. diakses 11
Januari 2016 ).
4. Ali,
2015, Pengertian, Fungsi dan Macam Macam Asas Hukum ( online ),( http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-fungsi-dan-macam-macam-asas.html.
Diakses 11 Januari 2015 ).
5. Ali
Serizawa, 2014, Pengertian Asas Hukum dan Contohnya (online),(http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apakah-itu-asas-hukum.html#_.
Diakses 11 Januari 2016 ).
6. Damang,
2011,
Implementasi Hak-hak Tersangka sebagai Perwujudan Asas Praduga Tak Bersalah
dalam Proses Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan ( online ), (http://www.damang.web.id/2011/07/implementasi-hak-hak-tersangka-sebagai.html.
Diakses 13 Januari 2016 )
7. Damang,
2011, Asas Praduga Tak Bersalah
( online ), (http://www.negarahukum.com/hukum/asas-praduga-tak-bersalah.html.
Diakses 13 Januari 2016 ).
8. Higinus
Wilbrot, 2013, Mekanisme Penahanan Dalam
Proses Peradilan Hukum Pidana (http://higinuswilbrot.blogspot.co.id/2013/04/mekanisme-penahanan-dalam-proses.html.
Diakses 2 february 2016 )
9. Hukum
Online, 2011, Syarat-syarat Penangguhan Penahanan,(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4982/penangguhan.
Diakses 2 february 2016
10. Hukum
Online, 2013, Tentang Asas Praduga Tak Bersalah ( online ), (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2663/tentang-asas-praduga-tak-bersalah. Diakses 12 Januari 2016 )
11. Indahf/Carapedia,
2015, Pengertian dan Definisi Teori
Menurut Para Ahli (online),(https://carapedia.com/pengertian_definisi_teori_menurut_para_ahli_info502.html. Diakses 11 Januari 2016 ).
12.
Iman, 2011. Pengertian
Pertanggungjawaban Pidana (
online ) (http://imanhsy.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html.
Diakses 2 february 2016 )
13. I
Nyoman Arnita, 2013, Perlindungan
Hak-Hak Tersangka Dalam Penahanan Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia (
online ), ( http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalhukumunsrat/article/download/1145/923.
Diakases 13 Januari 2016 ).
15. Sora
N, 2015, Pengertian Norma Hukum dan Contonya lebih Jelas ( online ), (www.pengertianku.net,
diakses 11 Januari 2016 ).
16. Turiman
Fachturahman Nur, 2016, Teori Hirarki
dan Keberlakuan Peraturan Perundang-undangan serta Memahami Pancasila Sebagai
Sumber Hukum Negara ( online ), (http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id/2014/04/teori-hirarki-dan-keberlakuan-peraturan_5.html.
Diakses 12 Januari 2016 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar