KERANGKA BERPIKIR ILMIAH
Kerangka
Berpikir merupakan suatu model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai
masalah yang penting. Kerangka berpikir yang baik akan menjelaskan secara
teoritis pertautan antar variabel yang akan diteliti. Kerangka pikir tersebut
seperti logika berpikir induktif, deduktif, reflektif dan ilmiah. Berbicara
tentang logika, perkataan logika itu sendiri diturunkan dari kata logike dalam
bahasa Yunani, yang berhubungan dengan kata benda logos, berarti pikiran atau
perkataan sebagai pernyataan dari pikiran. Hal ini membuktikan bahwa
ternyata ada hubungan yang erat antara pikiran dan perkataan yang
merupakan pernyataan dalam bahasa. Dengan kata lain, logika dianggap membahas
tentang persoalan berpikir, pemikiran atau pikiran.
Dalam Metode Penelitian, logika
dapat dikelompokkan dalam kerangka berpikir yaitu :
1. Logika Berpikir Induktif
Induktif merupakan bentuk penalaran atau penyimpulan
yang berdasarkan pengamatan, untuk tiba pada suatu kesimpulan yang diharapkan
berlaku umum untuk semua hal. Logika Induktif merupakan suatu ragam logika yang
mempelajari asas pelajaran yang betul dari sejumlah sesuatu yang khusus sampai
pada kesimpulan umum. Jadi Logika Induktif
adalah suatu cara atau jalan berpikir yang dipakai untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau
masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulab yang bersifat umum.
2. Logika Berpikir Deduktif
Logika Berpikir Deduktif adalah suatu cara atau jalan
yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dalam
pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum kemudian menarik
kesimpulan yang bersifat khusus.
3. Logika Berpikir Reflektif
Berpikir reflektif merupakan bagian dari metode penelitian
yang dikemukakan oleh John Dewey. Pendapat Dewey menyatakan bahwa pendidikan
merupakan proses sosial dimana anggota masyarakat yang belum matang ( terutama
anak-anak ) diajak ikut berpartisipasi dalam masyarakat. Menurut John Dewey
metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir
aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan-kesimpulan
yang definitif. Kemampuan berpikir reflektif terdiri dari kemampuan berpikir
kritis dan berpikir kreatif.
4. Logika Berpikir Ilmiah
Berpikir ilmiah adalah
landasan atau kerangka bepikir penelitian ilmiah. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana
penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat
imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan
ilmiah yang baik tak dapat dilakukan. Ciri-ciri berpikir ilmiah adalah Harus
objektif, Rasional atau masuk akal, terbuka.
Metode
Ilmiah adalah prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, yang
merupakan gabungan antara penalaran deduktif dan penalaran induktif. Alur berpikir
yang tercakup dalam metode ilmiah John Dewey yaitu : Perumusan Masalah,
Pengkajian Pustaka, penyusunan kerangkan berpikir, perumusan hipotesis,
pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.
Defenisi
Pertama yang herus didefiniskan
adalah kata definisi itu sendiri. Mengapa demikian?. Sebab dengan adanya
perbedaan diantara kita dalam mendefinisikan suatu dapat menjadi
diskusi/kesepahaman kita bisa, meskipun kita merujuk satu kata yang sama.
Artinya kita harus mengacu pada makna yang sama.
Lalu Apa defenisi dari defenisi?.
Definisi pertama dari kata definisi adalah membatasi sesuatu, sehingga kita
dapat memiliki pengertian terhadap sesuatu. Misalnya sawah kita berbatasan
dengan sungai, jalan raya, dan kebun. Maka defenisi sawah kita adalah sebidang
sawah yang letaknya disini…dan berbatasan dengan ini..ini..dan seterusnya, sehingga
menjadi jelas. Jadi defenisi dari defenisi adalah memberikan
pengertian/penjelasan tentang sesuatu hal dan disertai dengan batasan-batasan,
sehingga hal tersebut menjadi jelas. Dapat disimpulkan bahwa inti defenisi yang
pertama ini adalah menjelaskan sesuatu yang terbatas. Konsekwensinya, jika
sesuatu tidak terbatas maka tidak dapat didefinisikan. Definisi yang kedua dari
kata definisi adalah menjelaskan sesuatu denga beberapa pendekatan, sehingga
sesatu itu jelas. Misalnya, jika kita ingin mendefinisikan kertas, maka kita
gunakan bentuk, warna, tekstur, kegunaan, sumber dan seterusnya, sebagai
pendekatan untuk memberikan kita pemahaman tentang kertas, sehingga gambaran
tentang kertas bagi kita menjadi jelas adanya.
Jika kita mencoba mendefinisikan
judul diatas (kerangka Berfikir Ilmiah), maka kurang lebih seperti berikut: Kerangka
adalah suatu yang menyusun atau menopang yang lain, sehingga sesuatu yang lain
dapat berdiri.
Manusia bukanlah wujud spritual murni, tetapi
merupakan perpaduan antara wujud, jasmani dan rohani. Karena itu memerlukan
sarana material untuk dapat menangkap pikiran. Kita tidak dapat memahami
pikiran seseorang jika tidak diwujudkan dalam bentuk ucapan, tuisan, dan
isyarat. Sehingga Berfikir merupakan gerak akal dari satu titik ketitik yang
lain atau bisa juga gerak akal dari pengetahuan yang satu kepengetahuan yang
lain. Pengetahuan pertama kita adalah ketidaktahuan (kita tahu bahwa diri kita
sekarang tidak mengetahui sesuatu), pengetahuan yang kedua adalah tahu
(kemudian kita mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita tahu). Wajar kemudian
ada juga yang mendefinisikan berfikir sebagai gerak akal dari tidak tahu
menjadi tahu. Jadi inti dari ini adalah gerak akal. Arti berpikir dalam pyschologi
and life bahwa berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsur-unsur
lingkungan dengan menggunakan lambang-lambang sehingga tidak langsung melakukan
kegiatan yang tampak. Tujuan berpikir yaitu untuk memahami realitas dalam
rangka mengambil keputusan, memecahkan masalah dan menghasilkan yang baru.
Terserah kemudian kita pahami bahwa
titik pertama adalah tidak tahu atau tahu dan titik kedua adalah tahu, lebih tahu
atau malah ketidak tahuan yang baru. Ilmiah adalah sesuatu hal/pernyataan yang
bersifat keilmuan. Cuma disini kita perlu bedakan ilmiah dalam perspektif kita
dan sains barat. Ilmiah dalam sains barat itu harus melewati pengujian secara
empiris, artinya Ilmiah adalah empiris dalam sains barat. Namun, Ilmiah yang
dimaksudkan dalam pembahasan kita adalah yang sesuai dengan dengan hukum-hukum
pengetahuan, sedangkan tentang sains akan dibahas dalam materi yang lain, yakni
Islam Iptek.
Kemutlakan dan Relativitas.
Suatu hal yang penting sebelum
menjalajahi dunia pemikiran perlu kiranya kita memahami jawban dari beberapa
pertanyaan berikut: apakah dari semua yang ada? Apakah ide atau realitas diluar
kita ini bersifat mutlak atau relative? Dalam artian, tidak hal yang pasti
seperti dalam kacamata kaum sofis (Filosphis). Membahas sofisme, di Yunani
muncul sekelompok orang yang berfikir bahwa apapun yang ada dalam gagasan kita
bersifat relative, semuanya selalu dihadapkan pada pilihan apakah semuanya
mungkin benar atau semua mungkin salah. Ciri khas kaum sophis adalah berdebat
kusir yang kemudian kembali pada relativitas. Artinya lebih menekankan kekuatan
retorika disbanding argumentasi.
Secara social, kaum sophis ini
(Sphis = arif, pandai) menimbulkan gejolak negative dimasyarakat pada zamanny
karena tidak ada lagi yang dapat dipercaya. Memang konsekwensi dari relativitas
adalah hilangnya kepercayaan. Disaat seperti inilah muncul tokoh Socrates (±
470-399 SM) yang menggugurkan asumsi-asumsi yang dibangun oleh kaum sophis.
Socrates yang dikenal sebagai
seorang guru Filsafat Yunai kuno yang sangat berpengaruh. Ia memakai metode
dialektika untuk membimbing orang memahami suatu pengetahuan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan setapak demi setapak demi sempai hal-hal yang meragukan
terjawab atau menjadi jelas, mengatakan bahwa Filsafat berasal dari bahasa
Yunani yang berasl dari kata philo = cinta dan Sophia = arif. Mungkin disinilah
kerendahatian Socrates tidak mengangap dirinya sebagai orang pintar, tapi
sebagai pecinta kearifan. Disini perlu ditegaskan bahwa puncak ilmu adalah
kearifan.
Ada beberapa kelemahan sofisme.
Pertama, kontradiksi dengan dirinya, misalnya pernyataan bahwa “semua
relative”. Jika dikembalikan, apakah pernyataan bahwa “semua relative” itu
relative atau mutlak. Kemungkinan jawabannya adalah jika dikatakan “pernyataan
tersebut termasuk relative”, maka pernyataan ini munggugurkan dirinya. Artinya
pernyataan ini juga relative. Kalua relative artinya belub dapat dijadikan
sandaran kemutlakan. Sebagai contoh, pernyataan “dilarang berbahasa Indonesia”
adalah pernyataan yang menggurkan dirinya karena pernyataan ini sendiri berbasa
Indonesia. Jika kemudian jawabanya adalah semua relative kecuali relative itu,
maka mau tidak mua mengakui adanya kemutlakan. Seperti kebingungan Al-Ghazali
dalam pencarianya, hanya satu hal yang tidak diragukan yaitu keraguan itu
sendri.
Kelemahan kedua adalah sofisme tidak
memiliki pijakan teori yang jelas, sehingga turunan dari prinsip berpikirnya
juga menjadi tidak jelas. Setahu penulis, sofisme tidak lain dari kebingungan,
kegundaan karena tidak memiliki system berpikir yang komprehensif. Cara kerja
sofisme sagat sederhana, menciptakan antitesa dari sebuah pernyataan dalam
bahasa keraguan. Akibatnya adalah munculnya keraguan baru dan tak mampu
menjawab masalah.
Sekilas Mengenai Filsafat Ilmu.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani,
Philo yang berarti cinta dan Sophis yang berarti arif, pandai. Secara bahsa
semua Filsafat lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan, kepandaian. Namun,
cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata sangat luas. Dahulu Sophia
tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebijakan intelektual, pertimbangan sehat, sampai kepandaian
pengrajin dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan hal-hal yang praktis.
Disini penulis mengambil pengertian
tentang Filsafat yang mempunyai arti sebagai berpikir secara radikal,
menyeluruh dan sistematis. Maksudnya, dengan berpikir radikal (bahasa Yunani
radix = akal) atau sampai ke akar-akarnya, sehingga melihat sesuatu secara
menyeluruh dan tersusun, sehingga kita arif dalam melihat persoalan. Ketiak
dilekatkan dengan kata ilmu, maka berarti berpikir secara radikal, menyelurh
dan sistematis terhadap ilmu. Ilmu sendiri dapat dilihat dari dua sudut
pandang. Sudut pandang barat, membedakan ilmu dengan pengetahuan. Ilmu
(Science) adalah kumpulan pengetahuan(Knowledge) yang sistematis. Misalnaya
ilmu biologi adalah kumpulan pengetahuan tentang mahkluk hidup dan semua
yang berkaitan secara sistematis.
Sudut pandang berikutnya dalam
pemikiran Islam. Ilmu bersal dari ain, lam, dan mim, yang satu akar kata denga
ulam, alim dan sebagainya. Ilmu berarti tahu, artinya ilmu dan pengetahuan
dalam konteks ini sama saja. Mendefinisikan pengetahuan dengan pengetahuan.
Mendefinisikan ilmu dengan ilmu, artinya dalam wilayah pendefinisian ilmu
memerlukan kajian tersendiri. Untuk jelasnya akan dibahas pada materi Islam
Iptek.
Ada tiga aspek yang menjadi pondasi
filsafat ilmu yaitu Epistemologi, ontology, dan aksiologi. Epistemology adalah
ilmu yang membahas tentang sumber pengetahuan berikut kevalidan sebuah sumber.
Ontology membahas tentang hakikat suatu dalam hal eksistensi dan esensi atau
dengan kata lain keberdaan dan keapaan sesuatu. Aksiologi membahas tentang
keguanaan sesuatu. Dalam materi ini kita hanya akan lebih banyak membahas aspek
Epistemologi. Sedang aspek ontology akan dibahas dalam materi Dasar-dasar
kepercayaan.
Sumber Pengetahuan.
Berangkat dari adanya kemutlakan
yang nantinya menyusun system berpikir kita, maka persoalannya kemudian adalah
bagaimana mencari sebuah fakurltas dalam diri kita yang digunakan untuk menilai
sesuatu, dimana penilai itupun masih harus dinilai kebenarannya. Secara umum
ada beberapa mazhab pimikiran yang bisa digolongkan sebagai berikut:
1. Skirptualis.
Skriprualis adalah sebuah system
berpikir yang didalam menilai kebenaran digunakan teks kitab. Asumsi dasar yang
tergabung adalah teks dalam kitab mutlak adanya, oleh kerenanya dalam penilaian
kebenaran harus sesuai dengan teks kitab. Mempertanyakan teks kitab sama saja
dengan mempertanyakan kemutlakan. Biasanya kaum skiriptual adalah orang
yang beragama secara sederhana. Maksudnya, peran akal dalam wilayah keagamaan
sangat sempit bahkan hamper tidak ada. Akal dianggap terbatas dan tidak mampu
menilai, olehnya kembali lagi ke teks kitab.
Namun dalam wilayah epistemology,
skriptualisme memiliki beberapa kekurangan, antara lain:
- tidak memiliki alasan yang jelas, mengapa kita harus mempercayai kitab tesebut. Kalau yang mutlak adalah teks kitab, maka pertanyaannya. Bagai mana caranya diantara banyak kitab menilai bahwa kitab inilah yang benar. Kalau kita lang sung percaya maka kitab lain kita harus juga langsung percaya. Nah, kalau kontaradiksi kitab mana yang benar? Artinya, kelemahan pertamanya adalah butuh suatu dalam membuktikan kebenaran sebuah kitab.
- Dari kelemahan pertama dapat kita turunkan kelemahan berikutnya, yakni: Terjebak pada subjektifitas. Artinya, kebenaran sebuah kitab sangat tergantunga dengan umatnya. Kebenaran Al-Qur’an, walau berbicara universal, hanya dibenarkan oleh umat Islam. Umat, Nasrani, Budha dan sebagainya meyakini kitab merka masing-masing. Sementara kita tidak dapat memakasakan kitab kita pada umat lain sebagaimana kita pun pasti tidak akan menerima teks kitab umat lain.
- Kelemahan ketiga adalah teks adalah”tanda” atau symbol yang membutuhkan penafsiran. Kitab tidak bisa berteraksi langsung, tetapi melewati proses penafsiran. Sementara dalam penafsiran sangat tergantung kualitas intelektual dan spiritual seseorang. Makanya kemudian, adalah wajar jika sebuah teks dapat dimaknai berbeda. Sebagi contoh surah 80:1 dan 2:1
- Tidak tepat dalam membuktikan penciptaan.
2. Idealis Platonia.
Pemikiran plato dapat digambarkan
kurang lebih seperti ini. Sebelum manusia lahir dan masih berada di alam ide,
semua kejadian telah terjadi. Olehnya, manusia telah memiliki pengetahuan.
Ketika terlahir di alam materi ini, pengetahuan itu hilang. Untuk itu yang
harus manuasia lakuakan kemudian adalah bagaimana mengingat kembali.
pengetahuan yang kita miliki hari ini kemarin dan akan datang sebetulnya (dalam
perspektif teori ini) tidak lebih dari pengingatan kembali. Teori ini juga
sering disebut sebagai teori pengingatan kembali. Namun, seagai alat penilaian,
teori ini memiliki beberapa kekurangan.
- Tidak ada landasan yang memutlakkan bahwa dahulu kita pernah berada di alam ide.
- Turnan dari yang pertama, kalaupun (jadi disumsikan teori ini benar) ternyata sebelum lahir kita telah memiliki pengetahuan, maka persoalannya adalah apakah pengetahuan kita saat ini selaras denga pengetahuan kita sewaktu di alam ide. Kalau dikatakan selaras, apa yang dapat dijadikan bukti.
- Ketiga, tidak diterangkan dimanakah ide dan material itu menyatu (saat manusia belum dilahirkan), dan mengapa disaat kita lahir, tiba-tiba pengetahuan itu hilang. Kalau dikatakan material kita terlalu kotor untuk menampung ide, maka mengapa saat ini kita bukan saja memiliki ide, tetapi bahkan mampu mengembangkan ide disaat material kita justru semakin kotor.
3. Empirisme
Doktrin empirisme berdasarkan pada
pengalaman dan persepsi inderawi. Oleh karena itu, kebenaran dalam doktrin ini
adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Bangunan sains kita
pada hari ini sangat kental nuansa empirisme. Tetapi empirisme memiliki
kekurangan sebagai berikut :
- Indera terbatas. Mata misalnya memiliki daya jangkau penglihatan yang berbeda. Begitu telinga dan indera lainnya. Olehnya, indera hanya bisa menangkap hal-hal yang bersifat terbatas atau material pula. Makanya fenomena penyembahan dan jatuh cintah misalnya, tidak dapat dijawab dengan tepat oleh kaum empiris.
- Indera dapat mengalami distorsi. Sebagai contoh terjadinya fatamorgana atau pembiasan benda pada dua zat dengan kerpatan molekul berbeda. Ketika kita masukkan pensil dalam gelas berisi air kita akan melihanya bengkok karena kerpatan molekul air, gelas dan udara sebagai medium berbeda. Padahal jika kita periksa ternyata pensil tetap lurus.
4. Kaum perasa/yakinisme.
Kaum perasa selalu menjadikan
perasaannya sebagai tolak ukur kebenaran. Ciri khas mereka adalah “yakin saja”.
Mereka mengapa dirinya sebagai orang yang paling mampu mendengar suarua
hatinya, dan menjadikan suara hatinya sebagai ukuran kebenaran. Banyak orang
beragama yang seperti ini pada hal system berpikir macam ini memiliki
kekurangan dalam pembuktian kebenaran sebagai berikut:
- Tidak jelas yang didengar itu adalah suara hati atau justru sekedar gejolak emosional atau bahkan (dengan pendekatan orang beragama) justru bisikan setan. Jangan sampai hanya gejolak emosional lantas dianggap suara hati atau bisikan setan. Nah, persoalannya bagaimana cara membedakannya.
- Kalu pun yang didengar adalah suara hati, maka akan subjektifitas karena hati orang berbeda. Jika subjektif, maka yang didapatkan adalah relativitas bukan kemutlakan.
- Tidak punya landasan mengapa kita mesti mengikuti suara hati, kalau akal menjustifikasi pengguna hati berarti tidak konsisten. Tetapi kalau menggunakan hati sebagai alasan mengapa harus mengikuti suara hati, maka kembali kepoin sebelumnya.
5. Rasionalisme.
Rasionalisme kurang lebih berarti
sebuah pahaman yang menjadikan akal sebagai ukuransebuah kebenaran.
Rasionalisme disini, bukan berarti seperti pendangan barat karena rasionalisme
dalam pendangan barat berarti menggunakan metode ilmiah yang justru berangkat
dari dokrin empirical.
Menurut kang jalal, sesuatu kadang
dianggap tidak rasional karena tiga hal. Pertama tidak empiris. Sesuatu yang
tidak dicerna indara manusia biasanya dianggap tidak rasional. Hal ini umumnya
menghinggapi orang yang sangat empiris. Kedua menyimpang dari rata-rata.
Sewaktu perang Khibar, kaum muslim menundudukkan benteng terakhir kaum Yahudi.
Para sahat ssejumlah 50 laki-laki yang kuat tidak mampu mengangkat pintu
benteng itu, tapi Sayidina Ali mampu mengangkatnya sendirian. Ini dianggap
tidak rasional, padahal hal ini rasional hanya tidak seperti kebanyakan. Ketiga
tidak tahu. Ketidak tahuan adalah kemudian yang orang berusaha tutupi dengan
penisbahan stigma irasonal.
Rasionalisme tidal menutup diri dari
teks, pengalaman atau persepsi inderawi, juga perasaan. Akan tetapi, kaum
rasionalis menggunakan akal dalam menilai semua yang ditangkap oleh bagian diri
kita. Namun, bagi sekelompok orang akal tidak dapat digunakan untuk menilai
kebenaran. Alasannya, akal terbatas. Artinya, penggunaan akal sangat dekat
dengan mengakal-akali sesuatu.
Untuk menjawab ini ada banyak hal.
Pertama, kita mengakal-akali sesuatu “memiliki kesan negative dalam aspek
bahasa. Padahal selama kita sadar (Termasuk ketika mengatakan mengakal-akali)
yang kita gunakan akal. Jadi mengugurkan diri sendiri”. Melarang orang
menggunakan akal disaat dia menggunakan akal. Kedua, kalau tidak pakai akal,
kita menggunakan apa, mau pakai dengkul?. Ketiga, kalau akal terbatas dimana
batasnya.
Memang benar bahwa akal terbatas
disbanding penciptaNya(selanjutnya dibahas dalam Materi Dasar-dasar Kepercayaan
), akan tetapi akal sebagai potensi untuk tahu, dimana batasnya?. Hukum akal
menyatakan bahwa sebab selalu mendahului, lebih kuat dari akibat. Jadi,
kesadaran akal sebagai ciptaan atau akibat pasti memiliki keterbatasan
dihadapan dengan penciptaNya. Cuma persoalannya adalah sejauhmana kita gunakan
akal kita untuk mengetahui.
Dalam kacamata seorang filsuf bahwa
manusia adalah binatang berakal. Secara biologis manusia memiliki syarat-syarat
kebinatangan seperti respirsasi, eksresi, regenerasi, dan sebagainya. Bedanya
cuma satu yaitu akal. Artinya manusia yang tidak menggunakan akalnya bisa lebih
buruk dari pada binatang.
Kadang orang merancukan antara akal
dan otak. Katanya, otaklah yang berpikir. Untuk menjawab hal ini sederhana.
Seandainya otak yang berpikir, maka tetu saja kerbau adalah makhluk yang cerdas
karena volume otaknya lebih besar dari manusia. Ternyata kedokteran modern
menemukan bahwa dalam otak terdapat sel yang disebut neuron. Neuron inilah yang
mengkoordinasikan kerja syaraf dalam tubuh, dimana tubuh disisi kana
diatur melalui tulang belakang menuju ke otak kiri begituplun sebaliknya.
Artinya otak tidak ada hubungannya dengan akal. Otak tidak lebih dari sebuah
organ seperti jantung, paru-paru, dan sebagainya.
Dalam diri kita ada beberapa
fakultas pengetahuan, di antaranya:
- Indera yang menangkap warna, bentuk, bunyi, bau dan sebagainya. Perbedaannya dengan empirisme, empirisme menjadikan idera sebagai tolak ukur sedangkan rasonalisme menjadikan indera sebagai sumber pengetahuan namun bukan utama.
- Khayal. Hasil persekutuan ide yang tidak memiliki realitas eksternal. Misalnya ide menusia dan monyet yang kesumuanya memiliki realitas eksternal, namun jika digabungkan menjadi kera sakti yang hanya memiliki realitas internal(dalam ide) tapi tidak di realitaskan eksternal.
- Wahmi. Berkaitan dengan persaan. Benci, cinta, rindu, jengkel dan sebagainya. Ilmu secara wahmiyah seperti pada kaum perasa diatas. Cuma perbedaannya wahmi masih dikontrol, bukan sebagi pengontrol bukan sebagai patokan utama.
- Akal. Fukultas dalam diri kita yang mengontrol semuanya.
Kiita telah semapai pada pentingnya
akal dalam menilai sesuatu. Namun persoalannya lagi bahwa ternyata akal pun
msih bisa salah. Artinya akal tidak mutlak. Untuk menjawab hal ini, kita
kembali ke pendefinisian awal. Berpikir adalah gerak akal. Hal ini berarti
menandakan adanya proses analogi sederhana. Motor adalah akalnya, mengendarai
motor adalah menggerakkan motor dari satu titik ke titik lain atau berpikir.
Dalam prose itu harus menaati aturan yang ada. Jika kita tidak menaati aturan
seperti lampu lalu lintas dan rambu-rambu makas akan terjadi kecelakaan.
Berpikir dengan tidak menaati rambu-rambu atau aturan berpikir akan menyebabkan
kecelakaan berpikir.
Jadi terjadi kesalahan berpikir
bukan akalnya yang salah, tetapi penggunaannya yang tidak tepat. Untuk kita
harus mengetahui bagaimana aturan berpikir yang mutlak adanya yang itupun harus
dinilai kebenarannya.
Seorang pemikir telah membantu kita
menyusun prinsip atau aturan berpikir tersebut yang sering disebut logika
Aristotelian atau logika formal sebagai berikut:
- Prinsip Identitas. Prisnsip ini menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya sendiri. Secara matematis dirumuskan A=A
- Prinsip Non Kotradiksi. Prinsip ini menyatakan bahwa tiada sesuatu pun yang berkontradiksi. Sesuatu berbeda dengan bukan dirinya. Jika diturunkan melalui rumus matematika A≠B.
- Prinsip Kausalitas. Prinsip ini menyatakan bahwa tidak sesuatupun yang kebetulan. Setiap sebab melahirkan akibat. Rumusnya S A.
- Prinsip keselarasan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap akibat selaras dengan sebabnya. Rumusnya S è A.
Pembuktian.
Logical formal ditetang oleh kaum Marxian dengan
logika dialektikanya. Mereka memahami bahwa logika formal hanyalah prinsip Non
Kontradiksi karena mereka memahami adanya kontradiksi internal pada materi.
Sebelum kita jawab ada baiknya jika kita sedikit bahas tentang logika
dialektik.
Logika dialektika adalah prinsip berpikir kaum
marxisme yang didalamnya ada 4 poin (yang penulis ingat 2 poin saja karena buku
yang membahas hal ini hilang). Pertama Negasi der Negation. Isinya adalah bahwa
dalam satu materi terjadi kontradiksi internal. Misalnya biji jagung. Pada
ruang dan waktu yang bersamaan terjadi dialektika antara biji jagung sebagai
tesa dan binih sebagai anti teas. Jika asntitesanya kuat maka antitesanya
menjadi sintesa. Jadi biji jagung = bukan biji jagung. Kalau memang sesuatu
berbeda dengan dirinya maka kotoran = makanan dan seterusnya. Jika demikian
akan terjadi kehancuran. Nah bagaimana dengan kasus biji jagung. Biji jagung
memiliki potensi menjadi benih yang untuk pengaktulannya membutuhkan factor
eksternal seperti air, tanah dan cahaya.jika syarat terpenuhi, maka potensi itu
akan mengaktual. Artinya bukan kontradiksi internal, tetapi gerak sebstansi
yang tergantung pada factor eksternal.
Jadi jika dijawab seperti diatas, kaum Marxian akan
mempertahankan pedapatnya dengan mengatakan 1Kg pasir beda dengan 1Kg pasir
karena yang pertama dan kedua pastilah memiliki selisih meski sangat kecil.
Atau kita sekarang beda dengan kita yang dahulu, makanya diri kita berbeda
dengan diri kita. Sanggahan ini dapat dibantah dengan cara bahwa kita membahas
masalah eksistensi yang tetap. Mengapa, karena esensi selalu berubah (esensi
terbagi substansi dan aksiden dan keduanya mengalami perubahan). Kedua, jika
kita ingin memberitakan penjelasan tetang eksistensi dengan cotoh esensi, maka
kita katakana bahwa sesuatu itu dibandingkan dengan dirinya sendiri pada ruang
dan waktu yang sama. Contoh diri kita detik ini dibanding dengan detik itu
sendiri. Mereka biasanya menjawab bahwa jika sesuatu dibandingkan pada saat
yang sama maka tidak ada waktu. Ketiadaan waktu menyebabkan ketiadaan materi.
Artinya kita tidak dapat membanding sesuatu pada dirinya sendiri pada waktu
itu. Ini adalah lelucon. Mengapa kalau tidak bisa, buktinya tadi kita bisa.
Kedua, yang tidak ada bukan waktu (t) tetapi selisih waktu (∆t). buktinya
sesuatu pada waktu tertentu tetap ada. Jadi prinsip negasi der negation tidak
rasonal.
Prinsip kedua adalah Quantity to Quality, jumlah
menuju kualitas. Cotoh air pada suhu 0 derajat celcius berada pada kualitas
padat. Pertambahan kuantitas panas akan menyebabkan mencairnya es atau
perubahan dari kualitas padat akan menjadi kualitas cair. Penambahan kuantitas
panas menjadi 100 derajat celcius akan menyebabakan perubahan dari cair ke gas.
Prinsip ini sama dengan gerak substansi dalam filsafat. Jadi prinsip kedua
bukan menggugurkan prinsip non kontradiksi, tetapi justru membenarkan. Artinya
prinsip ini bersifat logis dan niscaya.
Pembuktian berikutnya.
Jika seorang anak kecil menangis karena mainannya
diambil, tetapi mainannya kita beri pada yang lain, maka ia tetap akan menangis
karena ia tahu bahwa dirinya sama dengan dengan dirinya sendiri, bukan orang
lain. Bahkan kambing jika kita beri emas dan rumput ia tidak akan mengambil
emas karena rumput = rumput dan emas = emas. Artinya justru prinsip ini berlaku
universal.
Pembutian Kausalitas dan Keselarasan.
Ketika kita menangkap sesuatu maka akal kita akan
mengatakan bahwa tidak mungkin dia ada dengan sendirinya, pasti ada penyebabnya
dan akaibat pasti selaras dengan sebabnya. Tidak mungkin benih jagung
menyebabkan tumbuhannya pohon kurma. Semua yang ada di alam ini adalah bukti
kemutlakan prinsip nyang niscaya lagi rasonal ini. Tetapi untuk jelasnya silahkan
baca buku logika atau kajian.
Penutup.
Inti dan tujuan materi ini adalah peserta Basic
Training memahami secara garis besar mazhab pemikiran dan memiliki kerangka
berpikir dalam menganalisis setiap persoalan serta tidak terjebak pada
kejumudan berpikir.
Daftar
Pustaka
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Filsafat.%20Metode%20Ilmiah_0.pdf
Sudarto.
2002. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sugiyono.
2011. Metode Penelitian Pendidikan.Bandung: Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar